Rabu, 16 Februari 2011

SEJARAH PERJUANGAN GERAKAN SAMIN SUROSENTIKO

SIAPA SAMIN ITU?
Indonesia/ Bumi Nusantara (Jawa) lama sekali dijajah oleh Belanda, sejak sebelum perang Diponegoro yang berakhir tahun 1830. Waktu itu di Jawa Timur ada Kabuoaten yang Besar yaitu Sumoroto yang termasuk wilayah Tulungagung. Bupati Sumoroto yang disebut pangeran saat itu adalah Raden Mas Adipati Brotodiningrat yang berkuasa tahun 1802-1826.
Urut-urutan yang pernah berkuasa di Sumoroto adalah sebagai berikut:
1.        Raden Mas Tumenggung Prawirodirdjo, tahun 1746-1751.
2.        Raden Mas Tumenggung Somonegoro, tahun 1751-1772.
3.        Raden Mas Adipati Brotodirdjo, tahun 1772-1802.
4.        Raden Mas Adipati Brotodiningrat, tahun 1802-1826.
Gelar pangeran para penguasa tersebut merupakan pemberian Pemerintahan Hindia Belanda. RM Dipati Brotodiningrat juga mempunyai sebutan Pangeran Kusumaningayu, yang mengandung arti “ orang ningrat yang mendapat anugerah wahyu kerajaan untuk memimpin negara”.
RM Adipati Brotodiningrat mempunyai 2 (dua) anak yaitu:
1.        Raden Ronggowirjodiningrat
2.        Raden Surowidjojo
Raden Ronggowirjodiningrat berkuasa di Tulungagung sebagai Bupati  - Wedono pada tahun 1826 – 1844, yang diawasi Belanda dan wilayahnya semakin sempit.
Raden Surowidjojo bukan bendoro Raden Mas, tetpi cukup Raden Aryo, menurut kebiasaan orang-orang Jawa Timur. Raden Surowidjojo memiliki “kemuliaan dan kewibawaan yang besar”.
Menurut lingkungan ningrat Jawa, Raden Surowidjojo adalah nama tua, sedang nama kecilnya adalah Raden Surosentiko atau Suratmoko yang memakai julukan “SAMIN” yang artinya “ SAMi- SAMI AMIN” atau dengan arti lain bila semua setuju dianggap sah karena mendapat dukungan rakyat banyak.
Raden Surowidjojo sejak kecil di didik oleh orang tuanya Pangeran Kusumaningayu di lingkungan kerajaan dengan dibekali ilmu yang berguna, keprihatinan, tapa brata dan lainnya dengan maksud agar mulia hidupnya. Namun Raden Surowidjojo tidak suka karena tahu bahwa rakyat sengsara,
dihisap dan dijajah bangsa Belanda. Selanjutnya R. Surowidjojo pergi dari Kabupaten hingga terjerumus dalam kenakalan, bromocorah, merampok, mabuk, madat dan lain-lain.
R. Surowidjojo sering merampok orang kaya yang menjadi antek(kaki tangan) Belanda. Hasil rampokan tersebut dibagi-bagikan kepada orang yang miskin, sedang sisanya digunakan untuk mendirikan kelompok/gerombolan pemuda yang dinamakan “Tiyang Sami Amin” tepatnya pada tahun 1840. nama kelompok tersebut diambil dari nama kecil Raden Surowidjojo yaitu Samin.
Sejak tahun 1840 nama Samin dikenal oleh masyarakat, sebab kelompok tersebut adalah kelompok orang berandalan, rampok. Namun ajaran tersebut bila dirasakan memang baik, karena ajaran tersebut dilakukan untuk menolong orang miskin, mempunyai rasa belas kasihan kepada sesama manusia yang sangat membutuhkan. Hal ini merupakan tingkah laku dan perbuatan yang baik.
“Tiyang Sami Amin “ memberi pelajaran kepada anak buahnya mengenai kanuragan, olah budi, cara berperang dengan melalui tulisan huruf Jawa yang dirancang menjadi sekar macapat dalam tembang Pucung.
“ Golong manggung, ora srambah ora suwung,
Kiate nang glanggang, lelatu sedah mijeni,
Ora tanggung, yen lena kumerut pega,
Naleng kadang, kadhi paran salang sandhung,
Tetege mrng ingwang, jumeneng kalawan rajas,
Lamun ginggang sireku umajing probo”.
Yang artinya adalah salah satunya yang utuh, tidak dijarah dan tidak sepi, tetapi kuat dalam perang seperti kobaran api yang mengudang datangnya badan, tidak tahu apabila nantinya kejayaan tersebut akan hilang bersama asap. Hati tidak luntur seperti apa kira-kira datangnya kesulitan meski begitu terus kepada aku juga larinya. Oleh sebab itu kamu dan aku tidak dapat berpisah, karena kamu dan aku akan menjadi satu dalam kebenaran.
Raden Surowidjojo melakukan penjarahan ke daerah yang lebih luas sampai tepi bengawan solo. Di sana semakin banyak anak buahnya, daerah yang dijarahnya yaitu Kanor, Rajekwesi dan akhirnya menyusahkan Gupermen.

Tahun 1859 lahirlah Raden Kohar di Desa Ploso, Kabupaten Bloro cucu dari Pangeran Kusumaningayu/ Raden Mas Adipati Brotodiningrat Bupati Sumoroto. Raden Kohar ini putra dari Raden Surowidjojo.
Raden Surowidjojo merasa kecewa sampai generasi Raden Kohar karena banyak orang yang sengsara. Disini banyak orang yang bertanggung jawab terhadap milik pribadi hingga harus berkorban jiwa tetapi ditarik pajak oleh Belanada hingga dipukuli dan dihajar seperti hewan.
Pada saat itu Raden Surowidjojo menghilang tah tahu kemana, sehingga Raden Kohar hidupnya morat-marit tanpa harta benda. Akhirnya Raden Kohar menyusun strategi baru untuk meneruskan ajaran ayahnya untuk mendirikan Kerajaan. Raden Surowidjojo dinamakan Samin Sepuh, begitu juga Raden Kohar memakai sebutan Samin Surosentiko atau Samin Anom.
Raden Kohar (Samin Surosentiko) setelah memiliki gagasan yang baik mendekati masyarakat mengadakan perkumpulan di Balai Desa atau lapangan. Semakin lama temannya semakin banyak, karena mereka tahu bahwa gagasan Ki Samin Surosentiko adalah baik. Gagasan yang diumumkan adalah kerajaan Amartapura dengan rajanya Prabu Darmokusumo atau Puntodewo, raja titisan Dewa Darmo, dewa kebaikan.
Tanggal 7 Pebruari 1889, rabu malam kamis mengumpulkan masyarakat di lapangan Bapangan. Pidatonya sebagai berikut:
“ Cur temah eling bilih siro kabeh horak sanes turun Pandowo, lan huwis nyipati kabrakalan krandah Mojopahit sakeng bakrage wadyo musuh. Mulo sakuwit biyen kolo niro Puntodewa titip tanah Jawa marang hing Sunan Kalijogo. Hiku maklumat tuwilo kajantoko”.
Pidato tersebut diucapkan dalam bahasa Bloro campur Bojonegoro. Ki Samin mengingatkan tiga perkara yaitu:
Pertama  : Orang Samin itu keturunan Satria Pandawa, Prabu Puntodewa, saudara tua yang bersedia menolong tanpa pamrih.
Kedua     : Di jaman Majopahit keturunan tersebut pernah di rusak orang Demak yang mabuk kemenangan.
Ketiga     : Keturunan Pandawa di Majopahit sudah mengerti siapa yang  benar dan siapa yang salah.
Maka dari itu ketika dia tersiksa, Prabu Puntodewo muncul kembali di dunia, tepatnya di Demak dan menitipkan keselamatan orang Jawa kepada Sunah Kalijogo.
Tanggal 11 Juli 1901 malam Senin Pahing di lapangan Pangonan, desa Kasiman dengan diterangi ratusan obor, Ki Samin berbicara tentang kejatmikaan dengan sifat menang, madep, mantap yang dihubungkan dengan kekuatan badan dan mengingatkan masalah pikiran, hati yang tenang, ririh, ruruh, tajam memiliki kegunaan seperti yang dilakukan orang yang tapo broto.
Adapun pesan yang disampaikan adalah sebagai berikut:
“ Lan lakuniro seputat-seputat nastyasih kukuluwng. Lagangan harah kadyatmikan cawul haneng pambudi malatkung. Sing dingin, hakarso adyatmiko tanpo lih. Dwinyo maneges tapi hakarep tumiyang. Katri nempuh gendholan batin, ngarah arah. Catur mangeran ayun luwih dening tatasnyo ngadil myang pencang mangkin, sumarah renggep hatikel patuh”.
Pesan dengan bahasa Jawa Kuno tersebut dicampur dengan sedikit bahasa Kawi seperti halnya wejangan, agar masyarakat senang menanggapinya. Itulah yang dikerjakan Ki Samin.
Ajaran Ki Samin mengenai Kejatmikaan atau ilmu untuk jiwa dan raga, jasmani dan rohani mengandung 5 (lima) saran yaitu:
1.        Jatmiko kehendak yang didasari usaha pengendalian diri.
2.        Jatmiko dalam beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati sesama makhluk Tuhan.
3.        Jatmiko dalam mawas diri, melihat batin sendiri setiap saat, dapat menyelaraskan dengan lingkungan.
4.        Jatmiko dalam menghadapi bencana/bahaya yang merupakan cobaan dari Tuhan Yang Maha Esa.
5.        Jatmiko untuk pegangan budi sejati.
Dalam pertemuan tersebut juga disampaikan bahwa ajaran kejatkikaan tersebut merupakan senjata yang paling baik dan memiliki khasiat yang ampuh, karena dalam kehidupan itu banyak godaan dari segala arah dan yang tidak aneh adalah yang berasal dari “Rogo Rapuh” sendiri.
Ki Samin mengerjakan anak buahnya harus pasrah, semeleh, sabar, narimo ing pandum seperti air telaga yang tidak bersuara.
Dalam perkumpulan, dalam memberi putunjuk Ki samin selalu menggunakan tulisan huruf Jawa yang disusun seperti halnya puisi, prosa, gancaran dan tembang mocopat. Seperti di bawah ini yang berbentuk prosa:
“Jer ruh tumuruning tumus winwntu ing projo nalar, nalar wikan reh kasudarman, hayu ruwuyen badra, nukti-nuting lagon wirana natyeng kewuh, saka angganingrat”.
Sifat-sifat yang diajarkan selalu menggunakan pertimbangan logika (akal sehat) antara kewaspadaan dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup seperti menyusun gending. Perbuatan yang dapat mengatasi hambatan hidup adalah apa saja yang kita bawa dalam menjalani hidup di dunia.
Salah satu pegangan / pedoman Ki Samin dirancang dalam tembang pangkur.
Soho malih dadya gaman, anggegulang gelunganing pambudi, polokrami nguwah mangun memangun treping widyo, kasampar kasandung dugi prayogantuk, ambudya atmaja tama, mugi-mugi dadya kanti”.
Yang artinya: juga menjadi senjata untuk melatik letajaman budi, bisa melalui perkawinan yang menghasilkan kesanggupan yaitu kegunaan denagn ilmu yang luhur/baik, karena dalam perkawinan itu kita jatuh bangun dalam berupaya mencari “cukup” terlebih lagi dalam mengusahakan lahirnya anak cucu yang nantinya menjadi teman hidup.
Ki Samin memang tidak hanya mengerjakan ilmu kadigdayan tapi juga mengurusi masalah perkawinan atau hubungan antara pria dan wanita.
Tentang pedoman tingkah laku kehidupan tertulis dalam tembang dandang gulo.
“Pramila sesama kang dumadi, mikani ren papanng sujana, sajogo tulus pikukuhe, angrengga jagat agung, lelantaran mangun sukapti, limpade kang sukarso, wisaha anggayun, suko bukamring prajaning wang, pananduring mukti kapti amiranti dilalah kandiling setya”.
Yang artinya adalah kepada sesama makhluk hidup, dengan cara memahami kehidupan masing-masing, sebaiknya tulus. Cara yang dilakukan adalah memelihara dunia yang besar dengan membuktikan kepercayaan, mengutamakan      kelincahan      dan     kemampuan,    sering    dibuktikan, tidak lain yaitu menanam kebaikan.
Masih banyak ajaran Ki Samin yang lain yaitu seperti buku primbon yang memuat petunjuk untuk orang hidup tentang kepercayaan terhadap Tuhan yang menciptakan dunia, tingkah laku dan sifat-sifat orang hidup, misalnya buku “Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kesejaten, Serat Uri-uri Pambudi dan Jati Sawit.
Ki Samin dalam mengajar untuk membangun manusia seutuhnya seperti di atas tersebut, membuktikan bahwa dia memiliki pengetahuan kebudayaan dan lingkungan.
Andalan Ki Samin adalah Kitab Jamus Kalimosodo yang di tulis oleh Kyai Surowidjojo atau Samin Sepuh. Terlebih lagi pribadi Ki Samin Sepuh juga terdapat dalam Kitab tersebut.
Kitab Jamus Kalimosodo ditulis dengan bahasa Jawa baru yang berbentuk prosa, puisi, ganjaran, serat mocopat seperti tembang-tembang yang telah ditulis di atas yang isinya bermacam-macam ilmu yang berguna yang saat sekarang ini banyak disimpan sesepuh Masyarakat Samin yang berada di Tapelan (Bojonegoro), Kropoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunung Segara (Brebes), Kandangan (Pati) dan Tlaga Anyar (Lamongan) yang berbentuk lembaran tulisan huruf Jawa yang dipelihara dengan baik.
Ki Samin Surosentiko memnag nekat ingin memperlihatkan gagasannya, ingin mengusir bangsa Belanda secara Halus ingin punya negara yang tentram.
Ki Samin Surosentiko? Samin Anom hidup seperti halnya rakyat kecil. Setelah banyak mendapat pengikut menyiapkan Desa Plosodiren sebagai pusat pemberontakan.
Daerah Kekuasaan Ki Samin Surosentiko sudah semakin luas hingga desa-desa lain. Pada suatu hari masyarakat Desa Tapelan, Ploso dan juga Tanjungsari mengangkat Ki Samin menjadi Raja dengan gelar “Prabu Panembahan Suryongalam” yang dapat menerangi orang sedunia dan yang diangkat sebagai patih merangkap senopati, kamituwo (Kepala Dusun) Bapangan yang diberi gelar “Suryo Ngalogo” yang mengajarkan tentang perang. Ini membuktikan bahwa orang Jawa/pribumi dengan sah memiliki tekad yang utuh berjuang secara tenang (halus).
Ki Samin Surosentiko dalam menentang penjajah dapat dilihat dalam bermacam-macam cara. Bila kita melihat bagaimana  perbuatan  orang-orang
pemerintahan Belanda yang hendak menghabiskan warga Samin yang waktu
itu tersebar di Bloro, Bojonegoro, Pati dan Kudus yang paling banyak di Desa Tapelan Kecamatan Ngraho Bojonegoro. Namun Ki Samin Surosentiko tidak khawatir berjuang namun kelihatan diam sepertinya dia melawan tanpa perang. Cara yang dipakai melawan hanyalah menolak membayar pajak, menolak menyumbang tenaga untuk pemerintahan Belanda, membantah terhadap peraturan dan dia mendewakan dirinya sendiri seperti halnya titisan dewa yang suci.
Empat puluh hari sebelum tanggal 8 November 1907 Ki Samin Surosentiko mewisuda dirinya menjadi Raja Tanah Jawa kemudian dia ditangkap pemerintah. “Ki Samin kitab iro durung tumanem aneng kalbu” yang maksudnya KI Samin kitab andalanmu belum tertanam dalam hati sanubari demikian kata Raden Pranolo. “Ndoro Siten” yaitu Asisten Belanda. Randublatung waktu mengetahui wujud Ki Samin yang lemas, tangan dirantai, rambut digundul seperti tahanan, memakai celana hitam lusuh yang menempel dibadannya yang lemah.
Siang harinya Ki Samin Surosentiko dihadapkan “Ndoro Siten Di Ngasistenan setelah semalam sebelumnya ditahan di bekas tobong (tempat pembakaran gamping) tidak jauh dari situ. Ki Samin Surosentiko ditangkap setelah gagal mencoba melawan agen polisi yang mengepung Balai Desa Ploso.
Cerita beliau menjadi Raja Tanah Jawa sudah tamat namun sesepuh di Desa lain yang memiliki kewibawaan dan gagasan nyata masih mengakuinya hingga sekarang.
Di hadapan “Ndoro Siten Polisi” utusan khusus kontrolir dari Bloro juga tim pemeriksa lainnya. Siang hari yang panas KI Samin Surosentiko nampak kecil tidak lebih dari tahanan seperti pencuri kelas kakap yang berani menjalankan aksi perlawanan terhadap “Kanjeng Gupermen”. Hukuman yang jelas akan dirasakan yaitu di buang di Nusa Kambangan, namun bila ada yang memberatkannya maka Sawahlunto tempatnya.
Ki Samin Surosentiko meninggal di tahanan Sawahlunto tahun 1914. Kitab Serat Jamus Kalimosodo disita penguasa demikian juga kitab Pandom Kehidupan. Orang-orang Samin tidak lepas dari penyitaan/perampasan polisi.
Konon selama dalam tahanan di Sumatra Ki Samin Surosentiko yang nama  aslinya  Raden Kohar diminta  supaya  menulis wasiat untuk warganya
yang di Jawa. “Metrum Duduk Wuloh” merupakan salah satu wasiat Ki Samin Surosentiko.
“Nagaranto, niskolo kandugo arum hapraja mulwikang gati, gen ngaup miwah samungku, nuriya hanggemi ilmu rukunarga tan kana blekuthu”. Agak sulit untuk mengartikannya namun disini kami akan mencoba mengartikannya sedapat mugkin yaitu sebuah negara bisa kuat bila mempunyai peranan penting yang dapat menentukan peraturan dunia, kalaupun unsur pemerintah salah satunya adalah kelompok yang membuktikan kebijaksanaan dan menghormati kepercayaan para leluhur.
Harus diingat sejarah yang membuat dan memelihara ilmu pengetahuan. Kalau bisa nantinya rakyat dapat rukun bahagia, tidak ada permusuhan antar sesama manusia.
Melihat pengalaman di atas jelaslah ajaran Ki Samin juga membuktikan “Ageman Keprajan” yang  mengajarkan politik pemerintahan meskipun sangat sederhana.
Misalkan Ki Samin Surosentiko tidak cepat ditangkap dan dibuang di Sawahlunto, kita yakin ajaran-ajarannya dapat menjadi bekal yang baik. Mengingat Ki Samin sendiri belum sempat berpamitan kepada rakyatnya dia keburu di buang pemerintah Belanda karena dia secara terus terang mendirikan kerajaan dan memiliki gagasan membangun negara asli peribumi tanpa campur tangan orang kulit putih.
AJI PAMELING
Cerita Ki Samin Surosentiko menjadi Raja Tanah Jawa sudah habis, karena dia ditangkap Belanda namun warganya (pengikutnya) masih banyak yang berada di desa-desa. Oleh karena itu tidak aneh jika pemerintah Belanda masih ingin menghabiskan warga Samin, karena mereka masih tetap membantah pemerintah.
Ki Samin Surosentiko selama dalam hukuman meninggalkan putra 2 (dua) orang yang bernama Karto Kemis dan Saniyah. Saniyah disni dinikahi oleh Suro Kidin.
Semakin lama perbuatan orang-orang Belanda makin menjengkelkan bersumpah bahwa orang Samin akan dihabiskan semua. Orang Samin bingung mencari cara bagaimana memberantas orang Belanda.
Tahun 1939 pada suatu hari Ki Suro Kidin (menantu Ki Surosentiko) bersemedi.  Dalam  semedinya  tersebut  Ki  Suro  Kidin  mendapat  wangsit
(Paweling/wisik) yang oleh orang Samin dinamakan “Aji Pameling” yang isinya supaya Ki Suro Kidin mengebur “ Sendang Lanang /Sendang Malaikat”. Setelah dikebur yang ada hanya “suara para lelembut” yang bunyinya adalah

sebagai berikut :
“Jangan khawatir aku akan membantu kamu untuk mengusir Belanda, hanya syaratnya berat. Aku akan mencari “Jago Trondol” dari timur laut untuk sarana kamu merdeka. “Jago Trondol” juga akan menjajah, malah lebih kejam. Menghabiskan semuanya. “Larang sandang, larang pangan” itu sarananya. Oleh karena itu kamu lekas pulang beritahu anak cucumu agar “cawis uyah karo nandur kapas” (menyediakan garam dan menanam kapas) karena akan terjadi larang sandang lan larang pangan ( mahal pakaian dan mahal makanan).
Ki Suro Kidin memiliki 8 (delapan) orang putra kandung dan seorang anak angkat yang bernama KAMIDIN atau SUROKARTO KAMIDIN dari desa Tapelan.
Surokarto Kamidin meskipun anak angkat namun dipercaya ayahnya Ki Suro Kidin. Oleh karena itu Aji Pameling diajarkan kepada Surokarto Kamidin supaya berkeliling ke seluruh Jawa Timur memberitahu anak cucunya supaya menanam kapas dan menyediakan garam karena akan sulit (mahal) pakaian dan makanan.
Tahun 1940 Ki Surokarto Kamidin berangkat berkeliling memberitahu anak cucunya di desa-desa. Karena KI Surokarto Kamidin cukup memberitahu sesepuh atau wakilnya supaya jangan drengki, srei, dahwen, kemeren.
Wakil-wakil Ki Surokarto Kamidin di Desa-desa :
- Cangaan              : Sodikormo
- Nglembu              : Somejo
- Sumberbening      : Wonoleksono, Rono Sono
- Ngganting            : Karso
- Wangkuk              : Jogoboyo
- Pondok                : Dengkol Sawiyo
- Kalirejo               : Pak Dapi
- Tapelan               : Pak Jugi
- Pelang                 : Kasiyo Rejo
- Caruban              : Joyo Lemah Ireng
Memang sungguh nyata setelah Ki Surokarto Kamidin berkeliling, tidak lama kemudian Nippon/ Jepang datang yang lebih ganas daripada Belanda. Hingga semua yang dimiliki penduduk misalnya entong, irus, siwur disita atau dirampas. Dan yang paling dikhawatirkan hanya “Londo Mondolan” yang artinya orang peribumi yang menjadi kaki tangan Belanda/ Penjajah.

PESAN DARI MBAH SUROKARTO KAMIDIN

PESAN DARI MBAH SUROKARTO KAMIDIN
YANG DISAMPAIKAN OLEH MBAH HARJO KARDI


          Mbah Surondiko memegang putusan yang jumlahnya 4 (empat) yaitu Kanjeng Jawa, Tinggi Jawa, Tunggu Rakyat yang maksudnya Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila.
          Tingkah laku yang diajarkan oleh mbah Surondiko jangan sampai melakukan drengki, srei, dahwen, kemeren dan semena-mena terhadap sesama manusia. Jadi itulah yang diajarkan oleh mbah Surondiko kepada anak cucunya. Maka dari itu mbah Surondiko tidak mau membayar pajak pada jaman penjajahan Belanda, karena pada saat itu yang memerintah bukan bangsa Indonesia sendiri. Jadi pada waktu dulu mbah Surondiko berpesan kepada anak cucunya yang bertempat tinggal dimanapun supaya tidak membayar pajak pada bangsa Belanda. Yang diinginkan mbah Surondiko semua anak cucunya bisa manunggal menjadi satu untuk melawan bangsa Belanda.
Belum sampai selesai membahas masalah persatuan dalam melawan Belanda mbah Surondiko ditangkap oleh bangsa Belanda tepatnya pada tahun 1907. Mbah Surondiko ditangkap oleh Belanda dengan tujuan untuk dibunuh, cara yang dilakukan oleh bangsa Belanda (Tuan Asisten) yaitu :
1.    Dengan cara membronjong mbah Surondiko kemudian dibuang ke laut, setelah Tuan Asisten pulang sampai di rumah, mbah Surondiko juga sudah ada di rumah Tuan Asissten.
2.    Dengan cara ditembak di halaman rumah Tuan Asisten, tetapi malah yang kesakitan istri Tuan Asisten sendiri.
3.    Dengan cara diberi minuman beracun, sebelum diminum mbah Surondiko bertanya “ iki opo (ini apa) ? “, Tuan Asisten menjawab “ iki wedang (ini kopi) “, “ Wedang po enak (kopi apa enak) ? “ Tanya mbah Surondiko yang kedua, Tuan Asisten juga menjawab “ enak “, setelah ada jawaban dari Tuan Asisten “enak” mbah Surondiko langsung meminum racun yang diberikan Tuan Asisten yang sudah berubah menjadi kopi dan mbah Surondiko tetap selamat. Akhirnya bangsa Belanda merasa kesal karena dengan berbagai macam cara tidak bisa membunuh  mbah Surondiko di buang ke Digul, Irian Jaya kemudian dipindahkan ke Padang Sumatra sampai wafat tepatnya pada tahun 1914.
Tujuan menolak membayar pajak disini adalah perang yang tidak tampak dapat dikatakan jarum yang masuk air (dom sumuruping banyu). Kenapa bisa dikatakan seperti ini karena dalam perang ini tidak menggunakan senjata dengan alasan mbah Surondiko tidak mau membunuh orang, tidak mau memukul orang, harus sabar. Perang dalam melawan Belanda ini bisa disebut Sirep (bahasa Jawa).
Perang ini dilakukan oleh orang SAMIN. Dinamakan SAMIN yang maksudnya SAMA yaitu bersatu bersama-sama dengan anak cucu untuk melawan Belanda membela bangsa Indonesia.

Pada saat itu mbah Surondiko berpesan kepada anaknya yang bernama:
1.    Karto Kemis
2.    Suro Kidin (Menantu)
Pesannya  Mbah Surondiko adalah semua anak cucu harus mempertahankan negara dan mengikuti arus air.yang dimaksud arus air dalam hal ini adalah situasi saat sekarang. Selain itu pesan beliau kita harus dibelakang jangan di depan, yang maksudnya kalau di depan akan ditendang kalau dibelakang akan diberi pertolongan. Pada saat itu mbah surondiko berada di luar jawa. Selain itu pesannya kepada anak cucu berbunyi meskipun bertahun-tahun, berwindu-windu saya (Mbah Surondiko) akan kembali ke Jawa jangan lupa sama saya (Mbah Surondiko) bertempat di pohon yang besar. Yang dimaksud pohon yang besar adalah pemerintahan dan pengikutnya semakin banyak oleh karena itu anak cucu tidak boleh takut. Pesannya juga berbunyi mbah Surondiko akan merasakan sengsara tidak apa-apa namun nantinya anak cucunya akan merasakan enaknya (merdeka). Pesan yang paling utama adalah anak cucu harus sabar, jangan mempunyai pikiran untuk memiliki kepunyaan orang lain, semena-mena terhadap sesama manusia, dan tidak boleh mengambil barang milik orang lain meskipun menemukan harus dikembalikan. Orang ingin adil dan makmur itu berat maka tingkatkan usaha di bidang masing-masing. Dengan pesan-pesan tersebut anaknya tidak bisa meneruskannya akhirnya diteruskan oleh anak menantunya yang bernama Suro Kidin.
Akhirnya perjuangan mbah Surondiko diteuskan oleh menantunya yang bernama Soro Kidin dalam perjuangannya menantunya tetap menolak membayar pajak kepada Belanda. Karena pada saat itu Suro Kidin mempunyai anak kecil maka dalam berjuang melawan Belanda dibantu oleh anak angkatnya yang bernama Suro Karto Kamidin.
Surokarto Kamidin diperintahkan untuk memberi kabar kepada anak cucunya agar tidak drengki, srei, dahwen, kemeren, jangan semena-mena kepada orang lain untuk melanjutkan ajaran mbah Surondiko. Ajaran yang diberikan oleh mbah Surondiko tetap terus dilanjutkan meskipun orangnya sudah meninggal sampai-sampai negara sudah merdeka masih tetap menolak membayar pajak karena mereka kebanyakan bertempat tinggal di hutan.
Karena mendengar negara sudah merdeka Surokarto Kamidin pergi ke Jakarta menghadap Pak Karno (Presiden Sukarno). Disana dia bertanya kebenarannya peraturan yang sedang dijalankan. Sepulangnya dari Jakarta dia langsung memberitahukan kepada anak cucunya supaya taat kepada pemerintahan karena yang memerintah sudah bangsa Indonesia (orang Jawa diperintah oleh orang Jawa sendiri). Seperti keinginan mbah Surokarto Kamidin (mbah Suro Jepang), karena dia telah menerima pesan dari mbah Suro Kidin dimana mbah Suro Kidin menerima pesan dari mbah Surondiko. Mbah Surondiko pernah mengatakan kalau beso sudah ada Kanjeng Jawa, Tinggi Jawa, Tunggu Jawa itulah yang namanya merdeka. Dia setuju sekali karena anak cucunya yang sekarang diperintah untuk taat kepada pemerintahan.
Akhirnya mbah Surokarto Kamidin menyuruh anak lelakinya yang buta huruf yang bernama Kardi (Hardjo Kardi) untuk memberitahukan kepada anak cucunya. Surokato Kamidin berpesan kepada anak lelakinya agar besok bila dewasa bisa meneruskan ajaran yang sudah dilaksanakan sekarang. Ajarannya agar tidak drengki, srei,  dahwen, kemeren, semena-mena kepada orang lain. Apabila semua orang menjalankan ajaran tersebut maka itulah yang dinamakan adil makmur karena tidak ada orang yang mencuri.
Dengan berjalannya waktu Hardjo Kardi sudah dewasa, dalam menjalani hidup beliau mempunyai empat pedoman yaitu: merah, hitam, kuning, putih yang dapat dipecah menjadi delapan yaitu pangganda, pangrasa, pangrungon, pangawas.
o   Putih untuk dasar
o   Hitam untuk kesenangan(senang)
o   Kuning untuk pedoman tingkah laku
o   Merah untuk sandang pangan (Angkoro Murko)
Maka dari itu manusia harus waspada, kalau senang jangan asal senang. Senang dibagi menjadi dua yaitu: senang kepada yang baik dan senang kepada yang jelek. Kalau senang kepada yang baik mari kita lakukan tetapi untuk senang kepada yang jelak mari kita tinggalkan.

PANGGANDA
          Pangganda ini dibagi dua: ganda (bau) yang baik dan ganda (bau) yang jelek. Bila ganda yang baik mari dilakukan sedangkan ganda yang jelek mari kita tinggalkan. Maka dari itu kalau orang tahu jangan asal tahu. Tahu orang atau tahu sandang pangan. Kalau tahu orang harus ingat milik sendiri maksudnya kalau tahu sandang pangan hingga kemanapun diikuti itu dinamakan orang keliru.

PANGRASA
          Pangrasa juga dibagi menjadi dua yaitu rasa benar dan rasa salah. Kalau rasa benar mari dilakukan, kalau rasa salah mari ditinggalkan.

PANGRUNGON
          Pangrungon juga dibagi dua yaitu mendengar yang baik dan mendengar yang jelek. Mendengar jangan asal mendengar apabila mendengar yang baik mari kita lakukan dan sebaliknya apabila mendengar yang jelek mari kita tinggalkan.

PANGAWAS
          Pangawas juga dibagi menjadi dua yaitu melihat yang baik dan melihat yang buruk. Maka dari itu kalau melihat jangan asal melihat, kalau melihat harus tahu milik sendiri, kalu melihat yang jelak sebaiknya ditinggalkan.
Dari penjelasan diatas maka dapat diambil kesimpulan kalau semua orang dapat menghayati hal tersebut maka akan mengerti pribadi masing-masing.
          Setelah memiliki empat pedoman akan mengerti posisi pribadi kita. Dengan empat pedoman tersebut Hardjo Kardi menggabungkannya dengan ide yang dimilikinya yaitu dengan menciptakan sesuatu yang dapat berguna untuk orang banyak meskipun tidak dengan sekolah. Dari situ Hardjo Kardi memiliki keahlian pande besi yang dipergunakan sebagai sarana gotong royong. Sebagai contohnya alat pertanian milik tetangganya yang rusak diperbaikinya, bahkan sampai alat pertanian milik orang lain yang berada di lain daerah juga diperbaikiNya.
          Dengan berjalannya waktu Hardjo Kardi semakin tua dan pengetahuannya semakin bertambah. Hardjo Kardi bertempat tinggal di Dusun Jepang Desa Margomulyo, pada saat itu Dusun Jepang termasuk daerah yang buta huruf karena belum ada sekolahan. Ada sekolahan tetapi letaknya jauh yaitu di Desa Sumberjo. Jadi kalau mau sekolah mereka harus menempuh jalan yang jauh dan melewati hutan. Dengan perkembangan jaman akhirnya di Dusun Jepang ada sekolahan meskipun bertempat dirumah empat penduduk. Untuk mendirikan sekolahan dibutuhkan tempat yang luas. Sedangkan untuk tenaga gurunya masih sukwan, artinya guru tersebut dibayar oleh wali murid. Wali murid sama sekali tidak keberatan untuk membayar guru tersebut yang penting anaknya bisa pintar.
          Setelah orde baru dengan bertambah majunya pemerintahan akhirnya Hardjo Kardi bermusyawarah dengan masyarakat untuk mendirikan sekoalhan yang resmi. Akhirnya dengan semangat yang dimiliki oleh masyarakat dan didukung oleh Hardjo Kardi sekolahan yang dicita-citakan dapat terwujud. Sekolahan tersebut dimiliki oleh empat Dusun yaitu Jepang, Kaligede, Tepus dan Batang. Maka semangat gotong-royong dapat terwujud untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.



Jepang, Desember 1989
Hardjo Kardi

CATATAN DARI MBAH HARDJO KARDI

CERITA MBAH SUROKARTO KAMIDIN
TENTANG PESAN MBAH SURONDIKO
(Oleh : HARDJO KARDI)


          Tulisan ini saya buat karena mendapat pesan –pesan dari bapak  saya yang bernama Surokarto Kamidin yang bertempat tinggal di Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro. Beliau bercerita sewaktu akan meninggal dunia tepatnya pada tahun 1986. Tulisan ini saya buat apa adanya sesuai dengan pesan bapak saya, maka dari itu apabila ada kekurangannya saya minta maaf.




Ttd
HARDJO KARDI

PENGANTAR SEJARAH PERJUANGAN SAMIN

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa maka telah dapat tersaji buku ini sebagai wahana para pembaca dan pemerhati terhadap riwayat kehidupan keluarga Ki Samin Surosentiko yang berada di Dusun Jepang Desa Margomulyo Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Buku ini merupakan saduran dari buku asli milik Ki Samin Surosentiko yang berjudul “ PAMELING KALIMOSODO” serta pesan terakhir dari Surokarto Kamidin yang merupakan keturunan ketiga dari Ki Samin Surosentiko kepada Hardjo Kardi keturunan keempat yang saat ini bertindak sebagai sesepuh warga Samin di Dusun Jepang Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro.
Buku Asli Pameling Kalimosodo adalah buku pedoman Ki Samin Surosentiko yang bertuliskan Bahasa Jawa Dwipa yang saat ini di simpan dengan baik oleh pemangkunya yaitu Hardjo Kardi.
Pembaca dan pemerhati yang budiman
Ajaran Ki Samin Surosentiko tentang kebenaran, kejujuran, kerukunan serta membenci penjajah, baik Belanda Maupun Jepang tertanam dalam hati para keturunannya, namun sejak awal Ki Samin Surosentiko bercita-cita untuk memperoleh bangsa yang dipimpin oleh bangsanya sendiri.
Untuk itu sesuai dengan perkembangan jaman serta keberhasilan pembangunan masyarakat di Kabupaten Bojonegoro keturunan Ki Samin Surosentiko yang saat ini disesepuhi oleh Hardjo Kardi telah dapat berkembang seperti masyarakat Desa lainnya, bahkan mempunyai kelebihan dalam hal kejujuran, kebenaran, kerukunan dan ketaatan kepada aparatur pemerintah.
Berkaitan dengan lahirnya buku ini, maka diharapkan semua pihak dapat memahami isi dan maksudnya sehingga angapan yang selama ini berkembang yaitu “ masyarakat Samin sebagai masyarakat terbelakang dan terisolir” dapat dihapus karena tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Demikian untuk dijadikan maklum dan terima kasih.

Margomulyo, Januari 1996
Camat Margomulyo

Ttd

Drs. M. MAftuchin

Selasa, 15 Februari 2011

Kunjungan Bupati Bojonegoro Ke Kecamatan Margomulyo

Kunjungan Bupati Bojonegoro di Kecamatan Margomulyo pada tanggal 19 Januari 2011 dalam rangka Pencanangan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon/Satu Murid Satu Pohon.

Upacara dilaksanakan di Lapangan Desa Margomulyo dengan peserta upacara merupakan perwakilan siswa SMP, SMA dan SMK Se Kabupaten Bojonegoro.

 Bupati Bojonegoro beserta rombongan hadir di lokasi upacara


 Perwakilan siswa


 Group OKLIK SMPN Margomulyo
  

 Bupati Bojonegoro bersama peserta upacara

Bupati Bojonegoro bersama Group Tari SD